Biografi Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Ulama Besar di Mekkah Asal Minangkabau

Biografi Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Ulama Besar di Mekkah Asal Minangkabau

Siapakah ulama besar asal Indonesia yang Anda kenal? Pada artikel ini, Anda akan lebih mengenal mengenai biografi Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. 

Apakah Anda tahu ada banyak ulama asal Indonesia yang cukup dikenal di kancah internasional? Salah satunya yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. 

Ada dua pendapat berbeda mengenai tahun kelahiran Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Pendapat pertama berasal dari Buya Hamka yang mengatakan jika beliau lahir pada tahun 1860.

Sementara pendapat lain berasal dari Deliar Noer yang menyebutkan jika sosok tersebut lahir pada tahun 1855. Namun, satu hal yang pasti, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi wafat pada tahun 1916. 

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi berasal dari Nagari Koto Gadang yang saat ini menjadi bagian dari Agam, Sumatra Barat. Beliau termasuk ulama perintis ilmu yang sukses mencetak dai-dai yang cemerlang.  

Banyak murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang menjadi pelopor kemajuan agama Islam di Indonesia. Beberapa muridnya yang dikenal luas adalah KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendirikan sebuah organisasi Islam, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). 

Biografi Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Biografi Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

Dalam sebuah buku berjudul Cahaya dan Persatuan, Dandang A Dahlan menjelaskan mengenai silsilah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Bisa dikatakan, beliau berasal dari kalangan terhormat di Minang. 

Ayahnya bernama Abdul Latif. Abdul Latif memiliki kakek bernama Tuanku Abdul Aziz, seorang ulama Koto Gadang yang ikut berjuang dalam Perang Padri. 

Sementara ibu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi bernama Limbak Urai. Beliau adalah putri alim Paderi yang terkemuka yaitu Tuanku Nan Renceh. 

Beliau memiliki paman bernama Sutan Muhammad Salim yang merupakan ayah kandung Masyhudulhaq atau lebih dikenal sebagai Haji Agus Salim. 

Keluarga besar Syekh Ahmad Khatib termasuk kaum berada. Penduduk Koto Gadang menyebut keluarganya sebagai rangkayo yang berarti ‘orang kaya’. Oleh karena itulah, Syekh Ahmad Khatib juga bisa melanjutkan pendidikannya hingga ke Tanah Suci. 

Baca Juga : Biografi Imam An-Nawawi, Ulama Asal Damaskus

Kisah perantauan Syekh Ahmad Khatib ke Haramain berawal ketika beliau berusia 11 tahun. Pada kala itu Ahmad muda menunaikan ibadah haji bersama ayahnya. 

Di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW, terdapat kediaman pamannya yang bernama Abdul Ghani, seorang saudagar Minangkabau sukses. Bisnisnya tidak hanya berkembang di Arab saja, tetapi hingga ke Belanda juga. Rumah Abdul Ghani inilah yang menjadi tempat persinggahan Ahmad dan ayahnya. 

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Ahmad tidak kembali ke Indonesia seperti ayahnya. Atas dukungan ayah dan pamannya, beliau memutuskan untuk tinggal di Mekkah dan belajar agama Islam. Setidaknya, Syekh Ahmad Khatib belajar di Haramain antara tahun 1871 hingga 1879. 

Gurunya yang bernama Sayyid Dahlan terkesan dengan kecerdasan Ahmad. Sang guru tersebut memiliki seorang sahabat bernama Syekh Saleh. Syekh Saleh adalah seorang pedagang kaya yang berasal dari kalangan suku Kurdi. 

Saudagar tersebut memiliki toko buku di Mekkah yang bernama “Babus Salam”. Ahmad seringkali menghabiskan waktu luangnya untuk membaca dan membeli buku di toko tersebut. 

Lambat laun, Syekh Saleh pun terkesan dengan Ahmad. Setelah 10 tahun sejak mulai belajar di Mekkah, Ahmad menikah dengan Khadijah yang merupakan putri dari Syekh Saleh. Biaya mahar dan pernikahan ditanggung oleh Syekh Saleh sebagai rasa syukurnya dan gembiranya memiliki menantu yang alim. 

Sejak menjadi menantu Syekh Saleh, reputasi Ahmad pun kian berkibar. Orang-orang Arab khususnya yang berada di Mekkah hormat padanya. Padahal, pada kala itu, orang-orang Nusantara yang baru menuntut ilmu di Tanah Suci kerap kali dipandang sebelah mata. 

Ahmad menekuni ilmu fiqih khususnya mazhab Syafi’i. Selain itu, di Haramain beliau juga mendalami ilmu lain seperti tasawuf, sejarah, dan falak. 

Ahmad juga tertarik pada pemikiran Islam kontemporer. Hal tersebut juga termasuk gagasan yang dicetuskan kaum modernis Muslim, seperti Syekh Rasyid Ridha (wafat 1935), Jamaluddin al-Afghani (wafat 1897), dan Syekh Muhammad Abduh (wafat 1905). 

Syekh Ahmad Khatib seringkali dipanggil untuk berceramah. Awalnya, beliau mengajar di lingkungan sekitarnya atau sebatas keluarga dari pihak istrinya. 

Beliau masih terbatas untuk berceramah di ruang publik. Salah satu alasannya yaitu karena pada saat itu kebanyakan orang Arab terkesan enggan untuk mengakui orang Nusantara berkompetensi menjadi ustadz. 

Ketika istrinya yang bernama Khadijah meninggal dunia, Syekh Ahmad Khatib begitu sedih. Namun, ayah mertuanya bersimpati dan terus mendukungnya. Bahkan Syekh Saleh menjodohkannya dengan putrinya yang lain bernama Fatimah. 

Syekh Saleh mengenalkan Syekh Ahmad Khatib dengan seorang ulama senior Mekkah yang bernama Syekh Syarif ‘Awn ar-Rafiq. Akhirnya, beliau pun diizinkan untuk ikut mengajar di Masjidil Haram. 

Nama Syekh Ahmad Khatib pun semakin masyhur di kalangan muslim Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Ketika pulang ke Indonesia pun, beliau disebut sebagai pengajar di al-Haram. 

Sejak saat itu pula, banyak orang Nusantara yang pergi ke Mekkah untuk belajar kepadanya. Syekh Ahmad Khatib pun merespon positif hal tersebut. Dari para muslim yang belajar kepadanya, khususnya orang Minang, beliau dapat mengetahui perkembangan dakwah Islam di Sumatera Barat. 

Baca Juga : Mengenal puasa Arafah, Berikut Penjelasan Lengkapnya

Syekh Ahmad Khatib Menjadi Imam Besar di Masjidil Haram

Dalam sebuah buku berjudul Ayahku, Buya Hamka mengisahkan bagaimana Syekh Ahmad Khatib didaulat menjadi imam besar Masjidil Haram. Hal tersebut bermula ketika memasuki bulan suci Ramadhan. 

Syekh Syarif ‘Awn ar-Rafiq menggelar acara buka puasa bersama. Acara buka puasa bersama tersebut turut dihadiri para pembesar Mekkah, salah satunya yaitu mertua Syekh Ahmad Khatib. 

Memasuki waktu maghrib, para hadirin ikut santap iftar. Kemudian, mereka bersiap untuk menunaikan ibadah sholat maghrib. 

Sebagai tuan rumah sekaligus guru besar Masjidil Haram Syekh Syarif ‘Awn ar-Rafiq bertindak sebagai imam. Namun, tanpa sengaja beliau salah ketika membacakan suatu ayat Al-Qur’an. Syekh Ahmad Khatib yang menjadi jamaah di belakangnya pun spontan membetulkan bacaan tersebut. 

Syekh Syarif ‘Awn ar-Rafiq mengakui kekeliruannya tersebut. Beliau juga mengapresiasi koreksi Syekh Ahmad Khatib dan memuji kefasihannya dalam melafalkan ayat Al-Qur’an. 

Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, atas usulan Syekh Syarif ‘Awn ar-Rafiq, Syekh Ahmad Khatib didaulat menjadi imam dan khatib mazhab fikih Syafi’i di Masjidil Haram. Sejak saat itulah, ketika berusia 38 tahun, Ahmad berhak mendapat gelar Syekh. 

Penutup

Demikian penjelasan singkat mengenai biografi Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Semoga kisah beliau bisa memotivasi para umat Islam untuk belajar agama Islam lebih dalam lagi. 

Percayakan perjalanan umroh Anda dengan Umroh Bandung. Umroh Bandung telah menemani banyak jamaah haji dan umroh untuk beribadah ke tanah suci dengan lancar sejak tahun 2003. Untuk informasi mengenai biaya dan fasilitas, Anda dapat mengunjungi Promo Umroh Bandung. Ada juga promo Paket Umroh Plus Turki Bandung yang bisa Anda dapatkan di Umroh Bandung. Menunaikan ibadah ke tanah suci sekaligus berlibur ke kota Turki. 

You cannot copy content of this page