Umroh : Ibadah yang Dirindukan [Opini]

testimoni budiman rawda travel

Umat muslim di seluruh dunia sangat menginginkan anugerah besar, seperti beribadah umroh atau haji untuk mengunjungi dua tanah suci. Ritual yang disebut “haji” dilakukan setahun sekali pada bulan Dzulhijjah untuk mengunjungi tanah haram dan melakukan ibadah tertentu di sana.

Sementara umroh memiliki konsep yang sama, hanya dengan waktu yang berbeda. Umroh juga mengecualikan ibadah wukuf, yang hanya dilakukan saat haji. Dua ibadah ini merupakan ekspresi sempurna kepulangan manusia kepada tuhannya, yang mengandung nilai-nilai, spiritualitas, pengetahuan, kesempurnaan, dan keindahan.

Kedua ibadah ini memiliki tujuan yang luar biasa. Dalam Firku as-Sami, disebutkan, “wa ma Qila fi al-Hajji yuqalu fi al-Umrah li annaha qarantu bihi fi Kitab illah”, yang berarti bahwa apa pun yang dibicarakan tentang Haji juga dibicarakan saat Umroh. Hal ini mencakup segala sesuatu yang terjadi di dalamnya.

Jamaah harus mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan penuh berkah seperti Masjid Sayyidah Aisyah di Tan’im, Gua Hira, dan Jabal Rahmah. Mereka juga harus mengunjungi kekasih mulia, sang penerang jiwa, Nabi Muhammad Shallallahualaihi wa sallam di Masjid Nabawi Madinah.

Dengan populasi muslim terbesar di dunia, umat muslim Indonesia adalah jamaah terbesar yang melakukan haji dan umroh. Beberapa waktu yang lalu, jamaah dari Indonesia menggegerkan dunia karena dianggap mengganggu ibadah karena berfoto-foto ria di tempat tersebut. Banyak orang mengecam perlakuan ini, menganggapnya merusak martabat haji dan umroh.

Pendapat penulis berbeda. Pertama, penulis menceritakan kisah Persia Nizami Ghanjavi, “Laila-Majnun.” Alkisah, orang-orang berkumpul di suatu tempat untuk salat berjamaah. Dengan tenang, Majnun melewati mereka sambil mengikuti seekor anjing yeng yang berasal dari rumah Laila. Setelah selesai melakukan salat, sekumpulan orang ini mendatangi Majnun dengan marah dan bertanya, “Bagaimana kamu ini, Qais (nama asli Majnun)?” Anda melihat kami melakukan salat, tetapi dia malah melewati kami dengan santai mengikuti anjingnya.

Saat Majnun berkata, “Demi Allah, maafkan aku,” mereka yang marah semakin esmosi. Meskipun saya tidak melihat, saya menyadari bahwa ada kalian. “Aku melihat anjing Laila dan pikiranku hanya dipenuhi oleh bayang-bayangnya yang ingin aku temui”, kata mereka. Majnun kemudian berkata, “Aku melihat anjingnya Laila dan pikiranku kemudian dipenuhi olehnya sehingga tak sadar, akupun mengikutinya.” Bagaimana mungkin kalian yang beribadah kepada Allah merasa terganggu denganku yang hanya melewati kalian, meskipun ibadah kalian seharusnya ditujukan kepada-Nya?

Penulis agak tergelitik saat mendengar banyak kecaman karena mereka yang mengecam adalah mereka yang dipandang. Seorang Imam di Masjid Madinah secara kejam mengecam dan bahkan mengolok-olok jamaah dari Indonesia. Dalam hal ini, mungkin ada sebagian yang terlalu berlebihan. Namun, sebagian besar di antara mereka menabung dan menunggu bertahun-tahun, jika tidak puluhan tahun, untuk masuk ke tanah suci.

Mereka berusaha “menghentikan waktu” melalui foto dan video tersebut, yang akan menjadi kenangan suci bagi mereka untuk melakukan “ibadah yang dirindukan” dan menunjukkan cinta mereka kepada dan dikarenakan Allah. Apakah mereka yang mengecam itu mengalami kesulitan dan situasi seperti itu? Wallahu a’lam bis shawab

You cannot copy content of this page