Umat muslim sering kali ikut serta dalam perayaan tahun baru. Lalu bagaimana hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam? Simak menurut pandangan ulama, dalil syariat, dan cara menyikapi pergantian tahun sesuai dengan ajaran Islam.
Tahun baru dijadikan sebagai momen perayaan bagi semua orang seluruh dunia, tidak terkecuali umat Islam. Setiap akhir bulan Desember, semua orang mulai menyiapkan diri dengan antusias untuk menyambut tahun baru mulai dari pesta, kembang api, serta resolusi pribadi.
Namun dalam kehidupan beragama, umat Islam kerap kali bertanya mengenai hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam. Tren merayakan tahun baru menjadi isu yang memunculkan perdebatan di kalangan umat Muslim, apakah diperbolehkan dan sesuai dengan ajaran islam atau justru bertentangan dengan nilai – nilai syariat Islam? Berikut ini penjelasannya.
Pendapat Tentang Larangan dan yang Membolehkan

Mengenai hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam diperbolehkan atau tidak ini bukan tanpa alasan. Tentunya perayaan tahun baru berkembang dari sebuah tradisi.
Perayaan tahun baru merupakan budaya non Muslim yang berkembang menjadi praktik umum di berbagai belahan dunia. Berikut ini mengenai larangan dan yang membolehkan merayakan tahun baru.
1. Larangan Merayakan Tahun Baru dalam Perspektif Islam
Hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam ada yang melarang. Larangan ini berdasarkan pada historis perayaan tahun baru berasal dari reformasi kalender oleh Kaisar Julius Caesar abad pertama sebelum Masehi.
Tradisi merayakan tahun baru oleh Kaisar Julius Caesar dikembangkan oleh Romawi dan secara luas dikenal oleh masyarakat. Namun dalam ajaran Islam terdapat larangan bagi umat Islam untuk melakukan perayaan ini.
Perayaan tahun baru masehi disebut dengan tasyabbuh atau tradisi kebiasaan luar yang tidak selaras dengan nilai – nilai syariat. Dalam Qs. Al Baqarah ayat 120 dijelaskan:
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ
Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.
Selain itu, Rasulullah SAW bersabda dan dijelaskan dalam Hadits Riwayat Abu Daud:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Daud).
Hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam dilarang ini menurut Ibnu Taimiyah bawa dua faktor utama yang menjadi dasar larangan perayaan bagi umat Islam. Pertama ialah merayakan tahun baru bagi Islam cukup asing dan tidak pernah dipraktikkan oleh generasi terdahulu. Faktor kedua ialah praktik berkaitan dengan tindakan bid’ah sebab diada-adakan tanpa adanya dalil syar’i.
Perayaan yang tidak memiliki dasar syariat dan hanya sekadar mengikuti kebiasaan tanpa tujuan yang dibenarkan dapat dianggap sebagai penambahan dalam agama yang tidak dibutuhkan.
Pandangan tentang hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam tidak diperbolehkan juga menyoroti potensi dampak negatif dari perayaan tahun baru seperti pemborosan harta, berhura-hura, atau terlibat dalam perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga bagi sebagian ulama, sikap menjaga diri dari kebiasaan tersebut lebih diutamakan.
Baca Juga: Mimpi Umroh, Apa Artinya? Temukan Maknanya
2. Diperbolehkan untuk Merayakan Tahun Baru dalam Perspektif Islam
Di sisi lain, hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam diperbolehkan. Hal ini atas dasar dilakukan dengan bijak dan tidak syariat Islam. Pendapat ini didasarkan pada kaidah Islam yang memandang segala sesuatu sebagai boleh selama tidak ada larangan yang tegas dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya menyatakan bahwa menyambut tahun baru secara umum boleh dilakukan oleh umat Islam, terutama jika momen tersebut digunakan untuk refleksi diri, muhasabah (evaluasi diri), atau kegiatan sosial yang bermanfaat. Prinsip ini menekankan bahwa substansi perayaan lebih penting daripada sekadar mengikuti tradisi duniawi tanpa makna.
Dalam fatwa Syaikh Athiyyah Shaqr rahimahullah (wafat 2006 M), Guru Besar Al-Azhar sekaligus mantan Mufti Agung Mesir, yang dalam dokumentasi fatwa Al-Azhar menyebutkan bahwa,
قَيْصَرُ رُوْسِيَا “الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ” كَلَّفَ الصَّائِغَ “كَارِلْ فَابْرَج” بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ
Artinya: “Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas ‘Karl Fabraj’ guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas. Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan ‘Sham Ennesim’ yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan.
Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim? Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak.” [Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).
Sejalan dengan fatwa Mufti Agung Mesir, ulama Hadits ternama dari Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki (wafat 2004 M), dalam bukunya juga menegaskan bahwa:
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ وَذِكْرَى الْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ وَفِى اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌّ لَا صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فِى اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ
Artinya: “Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi’raj, malam nishfu sya’ban, tahun baru hijriyah, nuzulul qur’an dan peringatan perang Badar.
Fenomena pergantian tahun merupakan penanda waktu universal yang sering dipakai untuk introspeksi kehidupan dan menetapkan resolusi yang lebih baik, bukan ritual agama tertentu. Oleh karena itu, selama perayaan tidak menjurus kepada maksiat dan tetap menjaga nilai-nilai Islam, hukum yang diberlakukan bisa mubah.
Penting bahwa merayakan tahun baru harus bersifat sederhana, tidak berlebihan, dan tidak mengandung unsur larangan seperti pesta pora yang memicu kemaksiatan.
Baca Juga: Kumpulan Do’a Rasulullah SAW untuk Menjauhkan Bala dan Penangkal Sihir
Apa Saja yang Tidak boleh Dilakukan Saat Merayakan Tahun Baru dalam Perspektif Islam?
Hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam diperbolehkan asal tidak memicu kemaksiatan. Islam memberikan panduan agar setiap aktivitas yang dilakukan umat Islam senantiasa dapat memberikan manfaat dan tidak boleh meninggalkan ajaran agama.
Umat Islam dapat menjadikan momen perayaan tahun baru sebagai ajang untuk introspeksi diri, meningkatkan ibadah, memperbaiki hubungan dengan Allah SWT, dan menyusun niat baru yang lebih baik di tahun yang akan datang.
Untuk itu penting pula bagi umat Islam untuk menjauhi ajaran non tauhid ketika merayakan tahun baru sebagai berikut.
1. Tidak menyalakan kembang api sebab merujuk pada simbol penghormatan Dewa Api
2. Meniup terompet merupakan tradisi kaum Yahudi.
3. Berdo’a di detik pukul 00.00 dengan irama musik.
Hukum merayakan tahun baru dalam perspektif Islam terdapat beberapa interpretasi menurut ulama. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita menjauhi larangan ajaran non tauhid.
Semoga dari penjelasan diatas sebagai umat muslim lebih bisa memanfaatkan pergantian tahun sebagai momen terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga pergantian tahun sebagai sarana meningkatkan iman dan amal baik.
Mengisi pergantian tahun umat Islam dapat dengan merencanakan ibadah umroh. Umroh untuk memperbaiki hubungan dengan Allah SWT. Untuk mewujudkannya tentunya umat Islam harus memilih biro umroh terbaik.
Salah satu biro umroh terbaik adalah umroh Bandung. Biro ini menawarkan berbagai paket pilihan seperti umroh reguler, umroh plus Turki Bandung, dan umroh plus Dubai Bandung.
Dapatkan pengalaman perjalanan tidak terlupakan bersama umroh Bandung solusi perjalanan umroh nyaman dan inshaAllah mabrur.
Baca Juga:
- Sejarah Perkembangan Islam di Kawasan Eropa
- Sejarah Ibadah Haji dan Umroh
- 10 Kriteria Aliran Islam yang Sesat Menurut Ulama,…
- Melihat Sejarah Perkembangan Islam di Negara Spanyol
- Ini Dia Sejarah Islam Masuk Indonesia Pertama Kali
- Mengapa Ka'bah penting bagi umat Islam?
- Jejak Awal Islam Masuk ke Asia Tengah
- Unik! Inilah 7 Tradisi Didunia Ketika Baru Pulang…
- Kisah Muhammad Ali Menemukan Islam: Dari Isu…
- Memahami Ajaran Agama Baha'i, Mengapa Dianggap Bukan Islam?